Berjabatan tangan atau mushafahah memang dianjurkan dalam Islam. Hukumnya sunnah. Berjabat tangan dapat dilakukan kepada orang yang sudah kita kenal maupun yang belum kita kenal. Sama dengan salam, dapat disampaikan kepada yang sudah dikenal maupun yang belum. Tidak masalah, yang penting punya prediksi bahwa orang itu Islam. Dan, berjabat tangan dapat dilakukan di mana saja, misalnya di kantor, di pasar, di sawah, di pantai, di mushala, atau masjid. Bahkan, saking semangatnya ada sebagian santri yang bertemu dengan kawan di halaman masjid, lalu ia berjabat tangan, malah ada yang minta telapak tangan depan dan belakang. Setelah shalat fardhu berlangsung, ia berjabat tangan lagi kanan-kiri dengan kawan baru lagi. Juga, setelah shalat ba'diyah, ia berjabat tangan kanan-kiri sebagai tanda berpisah.
Karena berjabat tangan itu dilakukan sebelum atau sesudah shalat, lantas orang berasumsi bahwa berjabat tangan itu ada kaitannya dengan shalat. Hal itu tentu memerlukan kajian tersendiri. Mestinya berjabat tangan disunnahkan ketika bertemu atau berpisah. Sedang berjabat tangan setelah shalat, sebenarnya tidak ada dalil. Akan tetapi, lebih baik berjabat tangan itu dinisbatkan atas bertemu dan atau akan berpisah dengan kawan sesama muslim.
Hal ini dapat kita lihat dari hadits pertama:
والمختار أن يقال : ان صافح من كان معه قبل الصلا ة فمباحة كما ذكرنا. وان صافح من لم يكن معه قبلها فمستحبة لان المصا فحة عند اللقاء سنة بالاجتماع للا حا ديث الصحيحة فى ذالك
Pendapat yang layak dipilih ialah; Bila jabat tangan itu dilakukan saat sebelum shalat, itu boleh-boleh saja. Kalau berjabat tangan itu dilakukan jauh sebelum shalat dikerjakan, itu memang dianjurkan karena berjabat tangan ketika bertemu itu memang disunnahkan. Para ulama sepakat dalam hal ini karena memang ada hadits shahih tentangnya. [Al Majmu li an Nawawy, Juz III halaman. 470]
Dalil kedua;
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا. رواه أحمد فى مسنده و أبو داود و الترمذى وابن ماجة والضياء عن البراء
Apabila dua orang muslim bertemu lalu berjabatan tangan, keduanya pasti akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Dhiya', dari Barra']
Dalil ketiga;
و تسن مصافحة الرجلين و المر أتين وتحرم مصافحة الرجل للمر أة أللأجنبية من غير حائل
Disunnahkan berjabat tangan antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Haram hukumnya bila berjabat tangan itu dilakukan dengan jenis lain (laki-laki dengan perempuan) yang bukan muhrimnya tanpa adanya satir (penghalang). [Tanwir al Qulub, halaman. 199]
________
Sumber :
Ditulis ulang sesuai dengan isi Buku Tradisi Orang-Orang NU, Penulis H. Munawir Abdul Fattah, Penerbit Pustaka Pesantren. Halaman .199-201
Sahabatmu : Anwar Baru Belajar
____________________________________________
Bersalam-salaman Setelah Sholat Fardhu
Telah Kita Ketahui bahwa bersalaman ketika seorang Muslim bertemu dengan saudaranya adalah Sunnah, namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya.?!
Tidak ada kebaikan yang didapat, bahkan pelanggaran syari’atlah yang terjadi, dan perpecahan, karena ada sebagian jama’ah, jika selesai sholat, ia langsung menjabati orang. Jika tidak dilayani jabatan, maka ia marah, dan jengkel kepada saudaranya yang tak mau jabatan setelah sholat.
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al Jibrin-hafizhohullah- berkata, “Mayoritas orang yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’ (no. 855)].
Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah bid’ah? Suatu perbuatan yang tak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan para sahabatnya.
Tragisnya lagi, jika ada diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai sunnah, apalagi wajib, sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau berjabatan tangan habis sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak berjabat tangan menganggap orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada rasa ukhuwahnya, dan kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya.
Padahal saudaranya tidak mau berjabatan tangan usai sholat karena ia tahu hal ini tak ada contoh jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah. Bukan karena benci !!!
Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy rahimahullah- berkata, “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang.
Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir :
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR. Muslim 62, Tirmidzi 3398 dan 3399, dan Ahmad dalam Al-Musnad (4/290)].
Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”. [Lihat Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam (hal.46-47), dan Al Majmu’ (3/488)].
Apabila bid’ah ini di masa dulu terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini, hal itu telah terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Al Luknawiy -rahimahullah- berkata,
“Sungguh telah tersebar dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah. Pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek karena sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah duduk. Kedua, mereka berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal bersua”. [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264)].
Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum berjumpa sebelumnya tidak ada masalah.
Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Al Albaniy rahimahullah berkata dalam As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53),
“Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”.
Larangan berjabat tangan setelah melaksanakan sholat merupakan perkara yang dilarang oleh para ulama’.
Oleh karena itu, sebuah kesalah besar, jika diantara kaum muslimin yang membenci saudaranya jika tidak melayaninya berjabatan tangan, dan menganggapnya pembawa aliran sesat. Padahal mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai sholat memiliki sandaran dari Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.
Al-Allamah Al-Luknawiy-rahimahullah- berkata,
“Di antara yang melarang perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beliau berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu. Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil! Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].
Beliau juga berkata,
“Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath ,“Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.” Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata, “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.”
Alangkah fasihnya perkataan beliau rahimahullah Ta’ala dari ijtihad dan ikhtiarnya.
Beliau berkata,
“Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudlarat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah?
Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus dalam perkara itu. Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?!
Berdasarkan atas hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat penulis Jam’ul Barakat, Siraj Al Munir, dan Mathalib Al Mu’minin, mampu menandinginya, karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat telah terbukti. Telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar).
Yang lebih mengherankan lagi ialah penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia berkata dalam Aqd Al-La’ali, [“Dia (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata, “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh, niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan)”.] Rasul Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam bersabda, [“Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan dibalas dengan rahmah dan pengampunan”.]
Sementara dia tidak memahami bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]
Terakhir, kami perlu ingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa adanya gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib. Kemudian, tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya. Akhirnya, memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah, karena jabat tangan ini, padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan dan semisalnya.
Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk hikmah, jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda, dan menolak tangan yang terulur pada Anda. Karena sesungguhnya ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia.
Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah.
Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam.
Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik, niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan kekerasan. [Lihat Tamam Al Kalam fi Bid’ah Al Mushafahah ba’da As Salam (hal. 23), Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin (295)]
Telah Kita Ketahui bahwa bersalaman ketika seorang Muslim bertemu dengan saudaranya adalah Sunnah, namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya.?!
Tidak ada kebaikan yang didapat, bahkan pelanggaran syari’atlah yang terjadi, dan perpecahan, karena ada sebagian jama’ah, jika selesai sholat, ia langsung menjabati orang. Jika tidak dilayani jabatan, maka ia marah, dan jengkel kepada saudaranya yang tak mau jabatan setelah sholat.
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al Jibrin-hafizhohullah- berkata, “Mayoritas orang yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’ (no. 855)].
Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah bid’ah? Suatu perbuatan yang tak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan para sahabatnya.
Tragisnya lagi, jika ada diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai sunnah, apalagi wajib, sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau berjabatan tangan habis sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak berjabat tangan menganggap orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada rasa ukhuwahnya, dan kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya.
Padahal saudaranya tidak mau berjabatan tangan usai sholat karena ia tahu hal ini tak ada contoh jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah. Bukan karena benci !!!
Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy rahimahullah- berkata, “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang.
Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir :
رَبِّ قِِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR. Muslim 62, Tirmidzi 3398 dan 3399, dan Ahmad dalam Al-Musnad (4/290)].
Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”. [Lihat Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam (hal.46-47), dan Al Majmu’ (3/488)].
Apabila bid’ah ini di masa dulu terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini, hal itu telah terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Al Luknawiy -rahimahullah- berkata,
“Sungguh telah tersebar dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah. Pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek karena sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah duduk. Kedua, mereka berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal bersua”. [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264)].
Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum berjumpa sebelumnya tidak ada masalah.
Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Al Albaniy rahimahullah berkata dalam As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53),
“Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”.
Larangan berjabat tangan setelah melaksanakan sholat merupakan perkara yang dilarang oleh para ulama’.
Oleh karena itu, sebuah kesalah besar, jika diantara kaum muslimin yang membenci saudaranya jika tidak melayaninya berjabatan tangan, dan menganggapnya pembawa aliran sesat. Padahal mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai sholat memiliki sandaran dari Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.
Al-Allamah Al-Luknawiy-rahimahullah- berkata,
“Di antara yang melarang perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beliau berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu. Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil! Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].
Beliau juga berkata,
“Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath ,“Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.” Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata, “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.”
Alangkah fasihnya perkataan beliau rahimahullah Ta’ala dari ijtihad dan ikhtiarnya.
Beliau berkata,
“Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudlarat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah?
Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus dalam perkara itu. Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?!
Berdasarkan atas hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat penulis Jam’ul Barakat, Siraj Al Munir, dan Mathalib Al Mu’minin, mampu menandinginya, karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat telah terbukti. Telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar).
Yang lebih mengherankan lagi ialah penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia berkata dalam Aqd Al-La’ali, [“Dia (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata, “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh, niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan)”.] Rasul Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam bersabda, [“Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan dibalas dengan rahmah dan pengampunan”.]
Sementara dia tidak memahami bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]
Terakhir, kami perlu ingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa adanya gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib. Kemudian, tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya. Akhirnya, memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah, karena jabat tangan ini, padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan dan semisalnya.
Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk hikmah, jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda, dan menolak tangan yang terulur pada Anda. Karena sesungguhnya ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia.
Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah.
Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam.
Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik, niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan kekerasan. [Lihat Tamam Al Kalam fi Bid’ah Al Mushafahah ba’da As Salam (hal. 23), Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin (295)]
Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/
Sumber: http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/06/jamaah-bersalam-salaman-setelah-sholat-fardhu/
************
Dikirim ulang oleh : Anwar Baru Belajar