قَامَ مَنْ عِنْدِي جِبْرِيْلُ قَبْلُ فَحَدَّثَنِيْ أَنَّ الْحُسَيْنَ يُقْتَلُ بِشَطِّ الْفُرَاتِ.
Telah datang malaikat Jibril di sisiku, lalu dia mengabarkan kepadaku bahwa Husein akan dibunuh di Syaththil Furaats (Karbala). (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya (1/85); dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dengan beberapa syawahid (penguat-penguat hadits tersebut) dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, jilid III, hal. 159-162)
Setelah beliau men-takhrij dan menyebutkan berbagai syawahid-nya secara lengkap, beliau berkata sebagai berikut: “Hadits-hadits ini[1] tidak menunjukkan kesucian tanah Karbala, keutamaan sujud di atas tanah tersebut dan tidak pula menunjukkan sunnah menjadikan qursh (batu lempengan) dari tanah Karbala untuk sujud di atasnya ketika shalat sebagaimana yang dilakukan kaum Syi’ah pada hari ini. Kalau hal ini termasuk perkara sunnah, maka menjadikan qursh dari tanah Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah) paling pantas untuk sujud di atasnya ketika shalat, tetapi hal ini merupakan bid’ah Syi’ah dan sikap ghuluw mereka dalam mengaguungkan ahlul bait dan peninggalan-peninggalan mereka.
Termasuk dari keanehan kaum Syi’ah yang lain ialah pendapat mereka bahwa akal termasuk sumber tasyri’ (yang dijadikan patokan dalam syari’at). Oleh karena itu mereka mengatakan baik dan jelek berdasarkan akal. Bersamaan dengan hal ini (akal sebagai sumber tasyri’), mereka meriwayatkan atsar tentang keutamaan sujud di atas tanah Karbala, padahal atsar tersebut adalah termasuk hadits-hadits yang dapat dibuktikan kebatilannya oleh akal yang sehat secara aksioma.[2]
Aku (Syaikh Al-Albani) mendapatkan risalah (tulisan / karangan) yang ditulis oleh seorang Syi’ah yang biasa dipanggil As-Sayyid Abdur-Ridla Al-Mar’isyi Asy-Syihristaani (selanjutnya disingkat ARMS –pent.) dengan judul As-Sujud ‘ala At-Turbah Al-Husainiyyah pada hal. 15 dia berkata: “Telah diriwayatkan bahwa sujud di atas tanah Karbala paling utama karena kemuliaan dan kesucian tanah tersebut. Serta kesucian orang yang dikubur di tanah tersebut". Dan telah diriwayatkan hadits dari A`imatil ‘Ithrah Ath-Thahirah alaihimus salam[3] bahwa sujud di atas Karbala menerangi bumi yang ketujuh. Dalam riwayat lain: “Dapat menembus ketujuh hijab". Dan dalam riwayat lain: Allah menerima shalat orang yang bersujud di atas tanah Karbala yang Dia tidak menerima shalat orang yang bersujud di selainnya. Dalam riwayat lain bahwa sujud di atas tanah kuburan Husein menerangi bumi.”
Hadits-hadits seperti ini jelas kebatilannya menurut kami dan para Imam Ahlul Bait radliyallahu ‘anhum berlepas diri dari hadits-hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut tidak memiliki sanad-sanad di sisi mereka, sehingga dimungkinkan untuk dikritik dari segi ilmu hadits dan ushul-ushul ilmu hadits. Hadits-hadits tersebut hanyalah hadits-hadits yang mursal[4] dan mu’dlal[5].
Penulis risalah tersebut belum puas memenuhi risalahnya dengan nukilan-nukilan ini yang dianggap dari para imam Ahlul Bait. Bahkan dia mengelabui para pembaca bahwasanya nukilan-nukilan tersebut seperti nukilan-nukilan kita Ahlus Sunnah. Dia mengatakan (pada hal. 19): “Hadits-hadits keutamaan tanah Husainiyyah (tanah Karbala) dan kesuciannya tidak terbatas pada hadits-hadits para Imam Ahlul Bait alaihimus salam karena hadits-hadits yang serupa dengan hadits-hadits ini masyhur (terkenal) dan banyak terdapat dalam kitab-kitab induk firqah Islam yang lain dari jalan ulama-ulama dan rawi-rawi mereka. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Suyuthi dalam kitabnya Al-Khasha`ishul Kubra bab Ikhbarun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biqatlil Husein alaihis salam. Dia meriwayatkan dalam kitab tersebut sekitar 20 hadits dari tokoh-tokoh yang terpercaya di kalangan mereka seperti Al-Hakim, Al-Baihaqi, Abu Nu’aim, At-Thabrani, Al-Haitsami dalam Al-Mujma’ (9:191) dan lain-lain dari perawi-perawi mereka yang terkenal.”
Wahai saudarakum muslim, ketahuilah bahwasanya tidak ada pada As-Suyuthi dan tidak pula pada Al-Haitsami satu hadits pun yang menunjukkan keutamaan tanah Al-Huseiniyyah (tanah Karbala) dan kesuciannya.
Setiap nukilan yang ada pada kitab-kitab tersebut yang sesuai kosa kata-kosa katanya sesungguhnya hanya berupa pengkhabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang terbunuhnya Husein di tanah Karbala. Dan baru saja aku (As-Syaikh Al-Albani) paparkan intisari-intisari nukilan tersebut. Apakah kalian dapatkan pada kitab-kitab tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Syi’ah ini (ARMS) pada risalahnya atas As-Suyuthi dan Al-Haitsami?
“Demi Allah, tidak! Tetapi, Syi’ah dalam mendukung kesesatan bid’ahnya menggunakan dalil yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Dia (orang Syi’ah ini) terus menerus membuat pengkaburan terhadap para pembaca bahkan sampai berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sebagaimana perkataannya pada hal. 13:
“Orang pertama yang menjadikan batu lempengan dari tanah untuk sujud di atasnya adalah Nabi kita Muuhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ketiga hijriah tatkala terjadi peperangan yang luar biasa antara kaum muslimin dan Quraisy pada perang Uhud dan gugur pada peperangan tersebut tokoh yang paling agung dalam Islam yaitu Hamzah bin Abdil Muthalib paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para wanita Islam untuk berniyahah (meratap) atas kematian Hamzah tersebut pada setiap pertemuan. Perkara pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai mereka (para shahabat) mengambil tanah kuburannya unntuk meminta berkah dan sujud di atasnya karena Allah Ta’ala dan mereka membuat alat tasbih dari tanah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah. Dan para tabi’in melakukan yang demikian ini. Di antaranya Al-Faqih…”
Kitab tersebut di atas (Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah) merupakan bagian kitab-kitab Syi’ah. Wahai pembaca yang mulia! Perhatikanlah! Bagaimana dia berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataannya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang pertama yang menjadikan batu lempengan untuk sujud di atasnya. Selanjutnya tidaklah dia memaparkan (‘atsar) untuk menopang pernyataannya tersebut kecuali kepada kedustaan yang lain, yaitu perintah Rasulullah kepada para wanita untuk meratap kematian Hamzah pada setiap pertemuan, padahal tidak ada kaitan antara perintah niyahah ini –sekalipun shahih- dengan menjadikan batu lempengan untuk sujud di atasnya sebagaimana yang tampak. Perintah niyahah ini tidak benar (tidak sah) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana hal ini terjadi, padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para wanita agar mereka tidak berniyahah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan selain keduanya dari Umu ‘Athiyyah (lihat kitab kami Ahkamul Jana’iz hal. 28). Dan tampak bagiku bahwasanya dia (penulis) menyertakan kedustaan yang ketiga kepada kedustaan di atas, yaitu ucapannya tentang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“… perkara tentang pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai mereka (para shahabat) mengambil tanah kuburannya untuk meminta berkah dan sujud di atasnya karena Allah Ta’ala…” Hal ini adalah kedustaan atas para shahabat radliallahu ‘anhum. Dan mustahil para shahabat mendekati pemujian berhala seperti ini. Cukup bagi pembaca melihat bukti kedustaan orang Syi’ah ini atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bahwasanya dia tidak bisa menisbatkan (menyandarkan) yang demikian ini kepada sumber yang ma’ruf dari sumber-sumber kaum muslimin kecuali kitab Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah yang termasuk kitab-kitab orang-orang akhir di kalangan mereka dan tidak diketahui pengarangnya. Orang Syi’ah ini (ARMS) tidak berani menyebutkan nama pengarang kitab tersebut dan menuntupi identitasnya agar tidak terbuka kedoknya (kejelekan dan kesalahannya) dengan penyebutan nama pengarang tersebut yang hal ini sebagai sumber kedustaannya.
Penulis (ARMS) belum puas menyuguhkan kedustaannya terhadap as-salaful awwal bahkan berlanjut kedustaan terhadap orang setelah mereka. Perhatikanlah lanjutan ucapannya di atas:
“Dan di antara mereka adalah Al-Faqih Al-Kabir Masruq bin Al-Ajda’ meninggal tahun 62 Hijriah, seorang tabi’i besar yang tergolong rijal shihah yang enam. Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dari tanah Madinah Munawwarah dalam safar-safarnya untuk sujud di atasnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hafidh Imamus Sunnah Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya Al-Mushannaf jilid 2 bab Man Kaana Yahmilu fis-Safiinah Syaian Yasjudu ‘Alaihi. Dia mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan dua sanad, bahwasanya Masruq apabila safar dalam perahu ia membawa batu lempengan dari Madinah Munawwarah untuk sujud di atasnya.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan: “Dalam ucapan ini banyak kedustaan:
1. Ucapannya: “Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dalam safar-safarnya.” Ucapan safar ini mencakup safar di daratan dan ini menyelisihi atsar yang dia sebutkan (yaitu di laut –pent.)2. Penetapan penulis bahwa Masruq melakukan demikian memberikan (makna) bahwa atsar tersebut tsabit dari Masruq padahal tidak demikian, bahkan dhaif munqathi’[6] sebagaimana akan datang penjelasannya.3. Ucapannya: “… dengan dua sanad” adalah dusta. Sesungguhnya sanadnya hanya satu yang bersumber dari Ali Muhammad bin Siriin. Terjadi perselisihan tentang Ali Muhammad bin Siriin dalam atsar ini. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf (2/43/2) dari jalan Yazid bin Ibrahim dari Ibnu Siriin bahwa dia (Yazid) berkata: “Aku khabarkan bahwa Masruq membawa batu lempengan dalam perahu untuk sujud di atasnya.” Dan dari jalan Ibnu ‘Aun dari Muhammad bahwasanya Masruq apabila safar dalam perahu dia membawa batu lempengan untuk sujud di atasnya.”Anda dapat melihat bahwa atsar yang pertama dari jalan Ibnu Siriin dan yang lain (kedua) dari jalan Muhammad yang dia itu tidak lain adalah Ibnu Siriin juga. Maka sanad ini pada hakikatnya satu sanad. Tetapi Yazid bin Ibrahim berkata darinya (Ibnu Siriin): “Aku khabarkan”. Dia (Yazid) menetapkan bahwa Ibnu Siriin melakukan demikian dengan perantaraan Masruq sedangkan Ibnu ‘Aun tidak menetapkan demikian. Masing-masing dari keduanya (Yazid bin Ibrahim dan Ibnu ‘Aun) tsiqah/terpercaya dalam periwayatan (‘atsar), hanya saja Yazid bin Ibrahim membawa tambahan ini (“Aku khabarkan”) dalam sanadnya. Maka tambahan tersebut diterima sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Musthalah (Ilmu Musthalah Hadits) bahwa: “Orang yang hafal sebagai hujjah atas orang yang belum hafal.” Dan atas dasar ini maka penyandaran perbuatan ini kepada Masruq adalah dhaif (lemah) yang tidak tegak hujjah dengannya karena sumber atsar tersebut adalah satu rawi yang tidak disebut namanya (majhul). Maka tidak boleh penetapan dengan menisbatkan perbuatan tersebut pada Masruq radliallahu ‘anhu wa rahimahu sebagaimana yang dilakukan oleh orang Syi’ah ini (ARMS).4. Orang Syi’ah ini (penulis/ARMS) telah memasukkan pada atsar ini tambahan yang tidak ada asalnya pada Al-Mushannaf yaitu ucapannya: “Dari tanah Madinah Munawwarah.” Tidak ada penyebutan tambahan ini pada masing-masing riwayat tersebut sebagaimana yang anda lihat.
Tahukah anda kenapa orang Syi’ah ini mengadakan tambahan dalam atsar ini. Telah jelas baginya bahwa pada atsar tersebut tidak ada dalil secara mutlak atas pengambilan batu lempengan dari bumi Al-Mubaarakah (Madinah Munawarah) untuk sujud di atasnya apabila dia membiarkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Oleh karena itu ia sertakan tambahan ini pada atsar tersebut untuk mengelabui para pembaca bahwa Masruq rahimahullah menjadikan batu lempengan dari Madinah untuk sujud di atasnya dalam rangka minta barakah. Apabila hal ini tsabit ia sertakan pada atsar ini kebolehan menjadikan lempengan dari tanah Karbala dengan seluruh penyertaan sebagai bumi yang disucikan.
Apabila anda mengetahui bahwa yang dijadikan qiyas atasnya adalah batil dan tidak ada asalnya, melainkan hanya berupa rekaan (perbuatan bohong) orang Syi’ah tersebut (ARMS) maka anda mengetahui bahwa mengqiaskan kepadanya juga batil. Sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah: “Tidak akan tegak (lurus) suatu bayangan sedangkan tongkat itu bengkok.”
Wahai pembaca yang mulia, perhatikanlah keberanian Syi’ah yang luar biasa atas pendustaan ini sampai mereka berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendukung kesesatan yang ada pada mereka. Perhatikan yang demikian ini niscaya akan jelas bagi anda kebenaran orang yang mensifati mereka dari kalangan aimmah dengan ucapan: “Sedusta-dusta kelompok adalah Rafidlah (Syi’ah Rafidlah).”
Termasuk kedustaan-kedustaan adalah ucapannya (halaman 9): “Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (!) (1/331) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci shalat di atas sesuatu yang bukan tanah.”
Perkataan ini adalah dusta dari dua sisi:
1. Tidak terdapat dalam shahih Bukhari lafadz ini, tidak dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari kalangan salaf.2. Atsar tersebut disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarhihi ala Al-Bukhari (1/388-cetakan al-Bahiyyah) dari ‘Urwah dia berkata: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari ‘Urwah dan Az-Zubair bahwasanya dia membenci shalat atas sesuatu yang bukan selain tanah.”
(Diterjemahkan oleh al Faqir ila maghfiratil Jaliil Abu Sa’id Hamzah bin Halil dari Kitab Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah/Al-Albani jilid 3 hal. 162-166)
Sumber: Majalah SALAFY edisi VIII/Rabi’ul Awwal/1417/1996
[1] Yakni hadits di atas dan syawahidnya. Bagi yang ingin mengetahui syawahid hadits ini, silakan baca kitab beliau tersebut di atas.
[2] Tanpa memerlukan bukti seperti pernyataan: api itu panas.
[3] Para Imam Ahlul Bait yang suci menurut mereka (Syi’ah).
[4] Mursal: hadits yang diriwayat oleh tabi’i dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebut shahabat.
[5] Mu’dlal: Hadits yang gugur pada sanadnya dua rawi atau lebih secara berturut-turut.
[6] Munqathi’: Hadits yang gugur pada sanadnya seorang rawi.
Proses Pembuatan Tanah Karbala